UCAPAN

SELAMAT DATANG DAN TERIMAKASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG " GBI DEBEGAN " TUHAN YESUS MEMBERKATI ANDA.

Sabtu, 28 Agustus 2010

Hambatan Doa

Hambatan paling jelas terhadap efektifitas doa adalah adanya dosa yang belum diakui dalam hati orang yang berdoa. Karena Allah kita adalah suci adanya, ada penghalang yang berdiri antara kita dan Dia ketika kita menghampiri Dia dengan dosa yang belum diakui dalam hidup kita. “Tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu” (Yesaya 59:2). Daud setuju, dia mengalami sendiri bahwa Allah jauh dari mereka yang mencoba menyembunyikan dosa mereka: “Seandainya ada niat jahat dalam hatiku, tentulah Tuhan tidak mau mendengar” (Mazmur 66:18).

Alkitab menunjuk pada beberapa macam dosa yang menjadi penghalang untuk doa yang efektif. Pertama, ketika kita hidup dalam kedagingan, dan bukannya dalam Roh, keinginan kita untuk berdoa dan kemampuan kita untuk secara efektif berkomunikasi dengan Allah terhalang. Meskipun kita menerima natur baru ketika kita dilahirkan kembali, natur baru itu masih berdiam dalam tubuh yang lama dan “tenda” kita yang lama sudah korup dan berdosa. Daging dapat mengambil alih kendali atas tindakan, sikap dan motivasi kita kecuali kalau dengan rajin kita “mematikan perbuatan-perbuatan tubuh” (Roma 8:13) dan dipimpin oleh Roh dalam hubungan yang benar dengan Allah. Hanya demikian kita akan mampu untuk berdoa dalam persekutuan yang dekat dengan-Nya.

Satu cara hidup dalam daging menampakkan diri adalah dalam mementingkan diri sendiri, yang merupakan halangan lainnya untuk doa yang efektif. Ketika doa kita bermotivasi egois, ketika kita meminta kepada Allah apa yang kita mau dan bukannya apa yang Dia inginkan, motif kita menghalangi doa kita. “Dan inilah keberanian percaya kita kepada-Nya, yaitu bahwa Ia mengabulkan doa kita, jikalau kita meminta sesuatu kepada-Nya menurut kehendak-Nya” (1 Yohanes 5:14). Meminta sesuai dengan kehendak Allah adalah sama dengan meminta dalam penaklukan kepada apa saja yang menjadi kehendak-Nya, baik kita ketahui atau tidak. Sebagaimana semua hal lainnya, Yesus adalah teladan doa kita. Dia selalu berdoa dalam kehendak Bapa-Nya, “Tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Lukas 22:42). Doa yang mementingkan diri selalu merupakan doa yang dimaksudkan untuk memuaskan nafsu kita sendiri, dan kita tidak mengharapkan Allah menanggapi doa semacam itu. “Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu” (Yakobus 4:3).

Hidup menurut keinginan daging yang egois juga menghalangi doa kita karena itu menghasilkan ketegaran hati terhadap orang lain. Kalau kita tidak perduli terhadap kebutuhan orang lain, kita bisa berharap bahwa Allah tidak akan memperdulikan kebutuhan kita. Ketika kita menghampiri Allah dalam doa, perhatian utama kita haruslah kehendak-Nya. Yang kedua adalah kebutuhan orang lain. Hal ini berasal dari pemahaman bahwa kita harus mempertimbangkan orang lain lebih dari diri sendiri dan memperhatikan kepentingan mereka melebihi kepentingan kita sendiri (Filipi 2:3-4).

Hambatan utama terhadap doa yang efektif adalah tidak mengampuni orang lain. Ketika kita menolak mengampuni orang lain, akar kepahitan mulai bertumbuh dalam hati kita dan mencekik doa-doa kita. Bagaimana kita dapat berharap Allah mencurahkan berkat-Nya atas kita, orang berdosa yang tidak layak, kalau kita menyimpan kebencian dan kepahitan terhadap orang lain? Prinsip ini digambarkan secara indah dalam perumpamaan hamba yang tidak mengampuni dalam Matius 18:23-35. Cerita ini mengajarkan bahwa Allah telah mengampuni hutang kita yang tak terbayangkan besarnya (dosa kita), dan Dia mengharapkan kita mengampuni orang lain sebagaimana kita telah diampuni. Menolak melakukan itu akan menghalangi doa-doa kita.

Hambatan utama lain terhadap efektifitas doa adalah ketidakpercayaan dan keraguan. Hal ini bukan berarti, seperti yang diajarkan oleh sebagian orang, bahwa karena kita datang kepada Allah dengan keyakinan bahwa Dia akan mengabulkan permohonan kita, maka Dia akan merasa wajib untuk mengabulkan. Berdoa tanpa ragu artinya berdoa dalam keyakinan dan pemahaman akan karakter, natur dan motif Allah. “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia” (Ibrani 11:6). Ketika kita menghampiri Allah dalam doa, meragukan karakter, tujuan dan janji-janji-Nya berarti kita amat menghina Dia. Keyakinan kita haruslah pada kesanggupan-Nya mengabulkan semua permohonan yang sesuai dengan kehendak dan tujuan-Nya dalam hidup kita. Kita harus berdoa dengan pemahaman bahwa apapun kehendak-Nya itu adalah skenario paling baik. “Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan” (Yakobus 1:6-7).

Akhirnya, perselisihan dalam rumah tangga jelas merupakan hambatan terhadap doa. Petrus secara khusus menyebut hal ini sebagai hambatan untuk doa-doa suami yang sikapnya terhadap istri tidak saleh. “Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang” (1 Petrus 3:7). Ketika ada konflik yang serius dalam hubungan keluarga dan kepala keluarga tidak menunjukkan sikap seperti yang disebutkan oleh Petrus, komunikasi doa suami dengan Allah terhalang. Demikian pula istri-istri harus mengikuti prinsip Alkitab untuk tunduk pada kepemimpinan suami kalau tidak mau doa mereka terhalang (Efesus 5:22-24).

Untungnya, semua halangan doa ini dapat diatasi dengan datang kepada Allah dalam doa pengakuan dan penyesalan. Dalam 1 Yohanes 1:9 kita dijamin bahwa “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” Begitu kita sudah melakukan hal itu, kita dapat menikmati saluran yang bebas dan terbuka untuk berkomunikasi dengan Allah, dan doa-doa kita bukan hanya akan didengar dan dijawab, namun kita juga akan dipenuhi dengan rasa sukacita yang dalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar